Minggu, 10 Juni 2018
Tekad dari Makassar: Menulis dan terus Menulis!
Tekad
dari Makassar: Menulis dan terus Menulis!
Masih
terkesan dalam ingatan, sebuah peristiwa langka yang saya alami di Kota
Makassar di medio April lalu. Peristiwa tersebut adalah kesempatan mengikuti
kegiatan diskusi yang diselenggarakan oleh Pergerakan Birokrat Menulis.
Bukan
hanya itu saja, kesempatan untuk berjumpa secara langsung dengan para pegiat
pergerakan adalah sesuatu yang sangat saya nantikan. Selama ini komunikasi dan
diskusi hanya dapat saya ikuti secara online
melalui grup WhatsApp.
Saat
itu keinginan saya untuk bertemu dengan para pegiat Pergerakan Birokrat Menulis
cukup menggelora. Tanpa rasa lelah dan disertai dengan semangat yang tinggi, Jum’at
malam 27 April 2018, selepas dari kantor saya berangkat menuju Kota Makassar. Perjalanan
yang cukup panjang dengan menempuh waktu 10 Jam, terbayarkan saat mengikuti
diskusi Birokrat Menulis, yang diselenggarakan di Kota Makassar, sabtu malam, 28
April 2018.
Hotel
Aston adalah lokasi dilaksanakannya kegiatan diskusi. Saya bergegas menuju
lantai 20, disana saya berjumpa dengan para pegiat pergerakan, yaitu Rudy M.
Harahap, Mutia Rizal, Andi P. Rukka, Eko H.W dan Nur Ana Sejati.
Dengan
rasa gembira saya berjabatan tangan dengan mereka dan berbincang penuh
kehangatan. Saya tidak pernah membayangkan suasana keakraban akan terbangun dengan
seketika. Ternyata bertemu dengan orang yang punya visi dan ide yang sama, terasa
bertemu dengan sahabat yang telah lama berpisah.
Tidak
lama berselang, para tamu mulai berdatangan. Saya mengambil peran menjemput
para tamu. Peran yang diberikan oleh Tim Birokrat Menulis sungguh sangat
berarti. Melalui peran ini saya bisa berdialog dengan para birokrat yang hadir
pada saat itu, meskipun sebagian hanya sekadar menanyakan nama dan istansi asal
mereka.
Acara
dimulai, Rudy M. Harahap selaku Editor in
Chief Birokrat Menulis, memperkenalkan tujuan hadirnya pergerakan birokrat
menulis. Saya mengambil posisi sebelah kanan, sambil sesekali berkeliling
memantau suasana ruangan. Meskipun sederhana, tetapi cukup meriah dan perserta
diskusi sangat antusias.
Acara
Diskusi dengan tema “Kinerja Birokrat dalam kubangan Politik Pratis” ini menghadirkan Narasumber seorang seorang
birokrat dari provinsi Sulawesi Selatan, Zainuddin Jaka dan Adi Suryadi Culla seorang
dosen Fakultas Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
Di
saat yang sama juga dilakukan peluncuran Buku Karya Andi P. Rukka yang berjudul
Politik, Birokrasi dan Kebijakan Publik
:Pokok-Pokok pikiran dalam memerangi Tuna Politik di Indonesia dan Buku
Karya Nur Ana Sejati yang berjudul Budaya
Kinerja : Sebuah Upaya Revitalisasi Akuntabilitas Kinerja Sektor Publik.
Dalam
bukunya, Andi P.Rukka menuangkan semua kegelisahan karena ingin memecahkan
masalah bangsa yang tak kunjung membaik. Penulis menyatakan kebingungannya
karena tidak tau kepada siapa harus berbicara.
Bicara
kepada politisi, mereka tersandera oleh koalisi. Bicara kepada Birokrasi,
mereka lebih sibuk memperbaiki nasib. Bicara kepada Akademisi, mereka pun
kebanyakan hanya mengisi mengisi daftar nilai.
Ditengah
kebingungan itu, akhirnya penulis memilih bicara kepada rakyat sebagai pemilik
sejati negeri ini. Bagi saya Buku ini perlu dibaca oleh semua kalangan agar
kita tidak menjadi penyandang tuna politik.
Selanjutnya,
Nur Ana Sejati melalui bukunya menyoroti Sistem Akuntabilitas Kinerja selama
ini lebih dianggap sebagai sebuah kewajiban formal dalam rangka penyusunan
laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP), yang saat ini
berubah nama menjadi Laporan Kinerja (LAKIN).
SAKIP
sering dipandang sebelah mata baik oleh legislator maupun kepala daerah. Dalam
proses penyusunan anggaran, misalnya fokus pembahasan lebih kepada deretan
angka-angka, dari pada target kinerja yang ingin dicapai. Bagi tim penyusun,
laporan kinerja juga sering dianggap beban.
Sebaliknya,
SAKIP harus dipandang sebagai falsafah organisasi yang menggerakan seluruh
anggota organisasi untuk mencapai tujuan. Untuk itu, perlu dibangun suatu
budaya kinerja, atau biasa disebut sebagai performance-driven
culture.
Selanjutnya
kedua narasumber memberikan apresiasi yang tinggi terhadap Pergerakan Birokrat
Menulis. Ada hal yang membuat saya tercengang, saat Adi Suryadi Culla
mengatakan, “Saya menunggu tulisan dari para birokrat yang memberontak”.
Saya
memaknai kalimat Adi sebagai motivasi untuk para birokrat agar berani menulis lebih
otokritis. Zaman Now memang dibutuhkan Birokrat yang otokritis untuk
membangkitkan gairah para birokrat lainnya agar tidak terjebak dalam kubangan
politik praktis.
Birokrat
sejatinya jangan terjebak dalam hal-hal yang bersifat praktis dan rutinitas.
Birokrat harus berani menggugat setiap keputusan yang dianggap tidak berpihak pada
masyarakat. Birokrat harus tampil terdepan bukan hanya siap menunggu perintah
pimpinan.
Pemimpin
boleh berganti, pemimpin boleh dibatasi dua periode, tapi birokrat akan selalu
hadir meski pemimpin silih berganti. Birokrat harus sadar bahwa pembangunan
tidak akan bertumbuh dengan semestinya, manakala birokrat hanya terjebak hal-hal
yang praktis dan rutin. Birokrat harus berani mengorbankan apa yang Ia miliki. Birokrat
harus mengembangkan dirinya dan mampu keluar dari zona kenyamanan.
Seketika
itu saya teringat Pesan John C. Maxwell dalam bukunya Self Improvement:
“Anda harus belajar untuk
melepaskan beban sebelum berusaha membawa beban lain. Anda harus melepaskan
salah satu hal untuk memperoleh hal yang baru. Orang secara alamiah menahan
itu. Kita ingin tinggal di zona kenyamanan dan bertahan dengan apa yang sudah umum.
Kadang kala lingkungan memaksa kita untuk menyerahkan sesuatu agar kita
memiliki kesempatan untuk memperoleh sesuatu yang baru. Namun yang lebih sering
terjadi adalah, jika ingin membuat pertukaran yang positif, kita harus
mempertahankan sikap yang benar dan bersedia untuk menyerahkan beberapa hal”.
Pesan
Maxwell memiliki implikasi bahwa Birokrat harus berani tampil tidak seperti
biasanya, karena hal yang biasa, bisa dikerjakan oleh semua orang.
Lantai
20 Hotel Aston Makassar memberi saya inspirasi dan membangkitkan hasrat untuk
terus menulis. Dari sana saya bertekad untuk tetap menulis, menuangkan gagasan
ataupun kegelisahan yang saya miliki.
Saya
pun tak begitu memedulikan apakah nanti banyak orang mau membaca tulisan saya
atau tidak. Satu hal yang saya miliki, tekad untuk menulis, menulis dan terus
menulis sampai jari-jari tangan saya terhenti dengan sendirinya.
Dari
Lantai 20 pun, Saya membulatkan tekad untuk tetap berada dalam pusaran
pergerakan yang hebat ini. Sebuah Pergerakan Literasi bagi Birokrat yang sungguh
bermanfaat untuk meningkatkan bukan hanya pengetahuan, tetapi juga pemahaman
melalui berbagai paradigma. Semua itu bertujuan untuk membangun birokrasi yang
lebih kuat dan memiliki nilai bagi publik.
Setelah
kegiatan diskusi berakhir saat lantai 20 semakin hening, saya masih sempat
menikmati suasana hangat bersama tim Birokrat Menulis untuk melanjutkan
obrololan hingga larut malam. Suasana yang sungguh menyejukkan dan
membahagiakan relung sanubari saya.
Salam
Birokrat Menulis
Teruslah kritis,
cerdas dan menginspirasi tanpa batasTulisan ini bisa dibaca melalui laman Birokrat menulis:
https://birokratmenulis.org/tekad-dari-makassar-menulis-dan-terus-menulis/
Langganan:
Postingan (Atom)
DUKA DI LEMBAH PALU Jum'at terakhir bulan September Dan goncangan 7,4 Scala Richter Bumi berguncang sangat kencang Tanah serasa ...
-
MEMAHAMI HARGA SATUAN TIMPANG Pemahaman harga satuan timpang merupakan harga tidak wajar / kemahalan harga dan merugikan ne...
-
Berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan perubahannya tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 38 Ayat (5) huruf b menyatakan ...
-
KEGAGALAN BANGUNAN BUKAN PIDANA Pada tanggal 12 Januari 2017 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi resmi diterb...