Jumat, 06 April 2018

Guru Ditakuti atau Ketakutan? Sebuah Refleksi Catatan Kelam Pendidikan Kita


Guru Ditakuti atau Ketakutan?
Sebuah Refleksi Catatan Kelam Pendidikan Kita

Saya cukup prihatin mengamati perkembangan dunia pendidikan Indonesia akhir-akhir ini. Berbagai media, baik audio, visual, mapun online banyak mewartakan kabar tentang berbagai peristiwa yang mencoreng dunia pendidikan.
Maraknya kekerasan terhadap guru yang dilakukan oleh murid dan orang tuanya merupakan suatu tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Siswa yang tega mencaci dan menganiaya seorang guru, menandakan moralitas pendidikan anak bangsa telah goyah. Beberapa kasus justru orang tua membela anaknya dengan cara melaporkan guru ke ranah hukum. Guru mengajar, siswa dan orang tua menghajar. Miris.
Sungguh malang nasib salah seorang guru, sekadar cubitan kepada muridnya dengan tujuan mendidik berujung penjara. Dibalik jeruji besi dan dinginnya ruang penjara seorang guru tidak berdaya, hanya bisa bersedih dan meratapi nasibnya. Adilkah ini?

Perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas
Dalam menjalankan profesinya, sudah selayaknya guru dihargai dan dilindungi. Hukuman yang bersifat mendidik, bukan merupakan tindakan kekerasan terhadap anak. Memidanakan seorang guru dengan permasalahan yang sepele bukanlah menegakkan supremasi hukum, malah sebaliknya, hal itu merupakan kriminalisasi terhadap guru.
Pada dasarnya, seorang guru memang dapat memberikan sanksi kepada anak didiknya asalkan sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. Lebih dari itu, guru bahkan mendapatkan perlindungan atas tindakannya tersebut.
Tindakan dan perlindungan tersebut, secara positif, jelas termaktub dalam sebuah peraturan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008, tentang Guru.
Salah satu pasal dalam aturan tersebut menyebutkan:
Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan tentang perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada dalam kewenangannya (pasal 39).
Dalam hal perlindungan atas tindakan melakukan sanksi, sebagai bagian dari pelaksanaan tugas guru, peraturan tersebut menyebutkan bahwa:
Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai kewenangan masing-masing (pasal 40 ayat 1).
Lebih lanjut, aturan tersebut menjelaskan bahwa guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokras, atau pihak lain (pasal 41 ayat 1).
Melalui aturan tersebut, guru memiliki hak untuk memberikan sanksi sekaligus hak untuk mendapatkan perlindungan. Namun, sangat disayangkan, pada praktiknya guru masih tetap dipidanakan dengan permasalahan yang sebenarnya tidak dalam kategori melanggar hukum.
Beberapa tindakan guru yang bermaksud untuk mendisiplinkan muridnya, dianggap sebagai perbuatan tidak menyenangkan dan kerap dijadikan delik aduan untuk menyeret guru ke ranah hukum, menggunakan undang-undang perlindungan anak.

Belajar dari Kasus Aop Saopudin
Aop Saopudin, seorang guru SDN Panjilin Kidul V, Majalengka, terbukti secara syah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama tiga bulan oleh Pengadilan Tinggi Bandung. Putusan tersebut menguatkan putusan Pengadilan Negeri Majalengka.
Vonis tersebut berawal dari sebuah kejadian pemotongan rambut terhadap beberapa murid SDN Panjilin Kidul V Majalengka, yang tidak mengikuti aturan sekolah untuk tidak berambut panjang/gondrong.
Aop Saopudin melakukan tindakan itu sebagai seorang guru yang sekaligus mendapatkan tugas khusus untuk mendisiplinkan para siswa yang berambut panjang.
Meskipun Aop divonis bersalah dan dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Tinggi, tetapi putusan tersebut kemudian dianulir oleh Mahkamah Agung. Hakim Mahkamah Agung akhirnya menyatakan bahwa Aop Saopudin tidak terbukti secara syah dan meyakinkan melakukan tindak pidana.
Putusan hakim tersebut mempertimbangkan bahwa apa yang yang dilakukan terdakwa sudah menjadi bagian dari tugas, bukan merupakan suatu tindak pidana. Aop dinyatakan tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut, karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan disiplin
Dari kasus tersebut dapat menjadi pelajaran kepada kita bahwa sanksi yang dilakukan oleh seorang guru dalam mendidik siswanya dalam batas yang wajar, adalah justru menjadi tugas mulia yang patut diapresiasi. 

Ketakutan Para Guru
Kasus Aop di atas adalah sebuah kasus yang berakhir membahagiakan, tetapi tidak bagi guru lain. Beberapa guru ‘berhasil’ dipenjarakan akibat tindakan pelaporan oleh orang tua siswa. Kasus serupa yang berujung lebih tragis pun masih saja terjadi.
Belum hilang dari ingatan kita ketika seorang guru harus kehilangan nyawa karena diserang oleh siswanya sendiri di dalam kelas, tatkala memberi peringatan atas tertidurnya si siswa di kelas.
Indonesia berduka, ribuan guru meneteskan air mata. Semua geram dan mengutuk aksi kekerasan terhadap rekan seprofesi mereka. Kita semua turut mengutuk dan berharap agar pelaku diberi hukuman yang setimpal.
Guru yang seharusnya dihormati dan dihargai jasa-jasanya justru teraniaya oleh orang tua siswa. Berbagai peristiwa memalukan dan memilukan, menjadi catatan kelam dunia pendidikan Indonesia.
Beberapa kejadian tersebut tidak menutup kemungkinan membuat ketakutan para guru. Ketakutan yang dapat mengakibatkan menurunnya kepedulian guru terhadap kualitas karakter anak didiknya. Perlu kita ingat kembali, tugas guru bukan hanya sekedar mengajar, tapi mendidik dan membimbing agar anak memiliki budi pekerti yang luhur.

Guru dapat saja kemudian acuh tak acuh terhadap penyimpangan aturan yang dilakukan oleh muridnya, demi keselamatan dirinya. Kecenderungan tersebut membuat daya pikir guru untuk mencari solusi dan cara terbaik juga menjadi lemah.  

Epilog
Permasalahan ini sebaiknya menjadi refleksi dan tanggung jawab bersama, bukan hanya menuntut perbaikan sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan yang mengarah pada pendidikan karakter dengan mengedepankan sisi humanisme perlu untuk terus didorong dengan baik.
Namun, di sisi lain masyarakat perlu melakukan refleksi kembali bahwa pendidikan karakter tidak cukup dilakukan di sekolah. Pendidikan dan bimbingan orang tua di lingkungan rumah tangga turut dan dominan menentukan perangai anak bangsa.
Pendidikan karakter anak harus diperhatikan dan dilakukan sejak usia dini. Peranan orang tua sangat dibutuhkan untuk membentuk perilaku anak, agar etika dan moral tidak tergerus oleh arus perkembangan teknologi yang semakin pesat. Orang tua yang kurang peduli, atau justru melakukan perlindungan yang berlebihan kepada anak dapat menjadikan anak merasa kebal sanksi di lingkungan sekolahnya.
Akan lebih bijaksana jika orang tua bersama guru mengedepankan pendekatan secara kekeluargaan. Guru adalah partner orang tua dalam mendidik anak, bukan justru memisahkannya dari konsep pendidikan anak. Para guru dan orang tua murid sebaiknya aktif melakukan komunikasi terhadap perkembangan seorang anak.
Para guru pun sebaiknya lebih aktif menyosialisasikan hukuman yang bersifat mendidik dalam rangka tindakan pendisiplinan terhadap murid yang melanggar peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru.
Menyatukan persepsi hukuman/sanksi diantara keduanya dan membangun sinergi. Hal ini menjadi bagian yang terpenting agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap orang tua murid.
Semoga kejadian seperti ini tidak terulang kembali, agar pendidikan di Indonesia semakin maju, sehingga melahirkan generasi yang cerdas dan memiliki budi pekerti yang luhur.
Begitu beratnya tugas seorang guru, tidak hanya mengajar materi akademis, tetapi memiliki kewajiban mendidik, dan membimbing anak bangsa menuju karakter yang diharapkan. Sudah selayaknya kita, masyarakat, memberikan posisi yang lebih tinggi kepada profesi guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DUKA  DI  LEMBAH  PALU Jum'at terakhir bulan September Dan goncangan 7,4 Scala Richter Bumi berguncang sangat kencang Tanah serasa ...