Mendorong (Kembali) Lahirnya Undang-Undang Pengadaan Barang/Jasa
Pengadaan Barang/Jasa Perlu Undang-Undang, Mengapa?
Perlukah Para Praktisi PBJ bersatu untuk mendorong segera lahirnya UU itu?
Simak penjelasannya berikut ini:
Prolog
Lahirnya Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang/Jasa (PBJ) Pemerintah
disambut gembira para pelaku pengadaan. Namun, lahirnya aturan tersebut jangan sampai
membuat kita lupa terhadap penanganan permasalahan hukum pada sektor pengadaan.
Faktanya, hingga saat ini, tidak ada jaminan bagi praktisi PBJ untuk tidak diperiksa oleh Aparat Penegak Hukum
(APH) walau indikasi tindak pidananya belum ditemukan.
APH biasanya cenderung mengabaikan perpres tentang
pengadaan barang/jasa ketika melakukan pemeriksaan terhadap praktisi PBJ. Mereka seringkali hanya terpaku pada undang-undang tindak pidana korupsi (Tipikor) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Hal
demikian membuat aspek-aspek spesifik
dari proses pengadaan tidak tercermin di dalam pemeriksaan. Tentu saja kecenderungan
itu akan berakibat pada besarnya kemungkinan kriminalisasi bagi praktisi PBJ.
Lemahnya
Perlindungan Hukum terhadap pelaku pengadaan
Paranoia praktisi PBJ tumbuh
membesar setelah semakin banyak orang yang tidak bersalah menjadi tersangka korupsi
dan akhirnya dipenjarakan. Padahal, ada adagium
hukum pidana yang terkenal, “lebih baik
membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak
bersalah!”. Karena menghukum orang yang tidak bersalah adalah perbuatan
zalim.
Dalam
menangani sebuah perkara, terkadang hakim mengalami
keraguan untuk memutuskan vonis. Jika hal itu terjadi, penerapan asas in dubio pro reo
menjadi jawabannya. Menurut kamus hukum yang ditulis Simorangkir, frasa in dubio pro reo diartikan sebagai “jika
ada keragu-raguan mengenai sesuatu hal haruslah diputuskan hal-hal yang
menguntungkan terdakwa”.
Dalam beberapa kasus tipikor, meskipun sang terdakwa pada akhirnya mendapatkan vonis bebas, sanksi sosial telah terlanjur melekat padanya. Di lingkungan sosial, predikat sebagai koruptor yang terlanjur
disematkan berdampak sangat besar. Tidak hanya kepada yang bersangkutan, namun
juga kepada keluarga dan handai taulannya.
Semangat pemberantasan korupsi memang sangat perlu kita apresiasi, khususnya pada
sektor pengadaan barang/jasa. Namun semangat pemberantasan korupsi adakalanya
menjadi liar dan melanggar prosedur. Kesalahan administrasi dalam proses
pengadaan kadang dikategorikan sebagai tindak pidana. Permasalahan seperti itu tentu akan
merugikan praktisi PBJ di berbagai daerah.
Banyak praktisi PBJ yang kemudian memilih mundur daripada harus menerima
dampak hukum yang tidak berkeadilan. Alih-alih menimbulkan efek jera pada pelaku
pengadaan, hal tersebut justru menimbulkan sikap apatis. Sikap ini pada gilirannya berdampak pada lambatnya penyerapan
anggaran dan percepatan pembangunan yang telah direncanakan dalam APBN/APBD.
Situasi seperti ini tidak dapat didiamkan berlarut-larut.
Beberapa waktu yang lalu, Presiden Jokowi
memberikan pengarahan kepada Kepala Kepolisian Daerah dan Kepala Kejaksaan
Tinggi. Dalam pengarahan tersebut, presiden menginstruksikan bahwa kebijakan
diskresi tidak dapat dipidanakan.
Tindakan administrasi pemerintahan juga tidak dapat
begitu saja dipidanakan. Potensi
kerugian negara yang dinyatakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih memiliki peluang untuk disanggah dan dibuktikan oleh
instansi yang diaudit selama 60 hari.
Potensi kerugian negara harus konkret, tidak boleh mengada-ada. Kasus yang berjalan di kepolisian dan
kejaksaan tak boleh diekspos ke media secara berlebihan sebelum masuk ke tahap
penuntutan.
Harapan kita, arahan
presiden benar-benar ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum sampai level
paling bawah, sehingga tidak ada lagi kriminalisasi PBJ. Sayangnya, pemanggilan klarifikasi/pemeriksaan terhadap praktisi PBJ
masih saja terjadi tanpa menggunakan perpres pengadaan barang dan jasa
sebagai acuan utamanya.
Mendorong
Lahirnya
Undang-Undang
Pengadaan
Dalam
hierarki perundang-undangan, peraturan
presiden (Perpres) berada pada urutan kelima atau berada dua tingkat di bawah undang-undang/peraturan pengganti undang-undang (Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang pembentukan peraturan perundangan-undangan).
Dengan
demikian, regulasi pengadaan yang saat ini masih berupa perpres, perlu di dorong untuk naik dua tingkat menjadi undang-undang agar lebih memiliki kekuatan hukum yang
diperhitungkan.
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
PBJ sebenarnya bukanlah ide baru. RUU tentang PBJ pernah diajukan pada tahun
2012, tetapi ditarik kembali dengan alasan terdapat beberapa hal yang perlu
diperbaiki.
Pada
akhir tahun 2014 LKPP
pernah membahasnya kembali dalam sebuah seminar yang bertajuk Aspek Hukum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Seminar tersebut menghadirkan dua pakar
hukum yaitu Prof. Eman Suparman dan Prof. Romli Atmasasmita.
Dalam makalahnya, Prof. Eman
menyoroti aspek hukum perdata dalam pelaksanaan PBJ pemerintah. Pemerintah selaku pengguna
barang/jasa untuk kepentingan
pelayanan publik, sudah
seharusnya memberikan rasa aman
dan nyaman kepada pejabat dan petugas yang telah
sungguh-sungguh dan penuh dedikasi melaksanakan tugasnya dalam kegiatan PBJ. Perlindungan hukum menjadi salah satu
hal yang selalu dinanti agar mereka merasa aman dan nyaman dalam melaksanakan
tugasnya.
Apabila
terjadi kerugian negara, pihak yang menyebabkan kerugian negara diharuskan
mengganti sejumlah kerugian
yang terjadi.
Permasalahan demikian lebih baik diselesaikan dulu pada
level auditor, bukan
kemudian terburu-buru untuk dibawa pada ranah hukum yang ditangani oleh APH.
Melanggar
perpres tentang PBJ tidak kemudian semudah itu menjadi
tindakan pidana korupsi. Peraturan pemerintah
dan perpres sebaiknya digunakan untuk
melihat ketentuan undang-undang yang
dilanggar.
Lebih
lanjut, Prof. Eman mengatakan bahwa Perpres PBJ sebaiknya naik tingkat menjadi undang-undang. Peraturan
pemerintah atau perpres hanya sebagai petunjuk
teknis dari undang-undang.
Sementara
Prof. Romli lebih menyoroti mengenai aspek hukum pidana dalam pengadaan
barang/jasa pemerintah. Jika
nantinya terdapat undang-undang pengadaan maka undang-undang tersebut
adalah undang-undang
dalam rangka pelayanan publik. Undang-undang Pengadaan jangan dibebani dengan
sanksi-sanksi pidana.
Kesalahan
pengadaan bukanlah
masalah pidana, sepanjang tidak terdapat
tindakan sebagaimana yang
termaktub dalam Undang-Undang Pidana
Khusus atau Undang-Undang
Pidana Umum.
“Jangan
sekali-kali memasukkan perkara yang bersifat administratif menjadi perkara
pidana”, demikian ujar
Prof Ramli dalam acara seminar tersebut. Pesannya lagi, sebaiknya kesalahan
pengadaan diselesaikan dengan cara-cara administratif sesuai dengan mekanisme penanganan
perkara perdata yang ada.
Epilog
Pada tahun 2016 RUU tersebut masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) melalui Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun, sampai dengan saat ini, RUU tersebut
tak kunjung menjadi prioritas untuk menjadi UU.
Sebaiknya hal
demikian tidaklah menjadikan kita apatis,
melainkan sebaliknya, dengan pemahaman yang cukup, menjadikan kita lebih
bersemangat lagi untuk secara bersama mendorong agar pengadaan dapat diatur melalui undang-undang tersendiri.
Perlu adanya soliditas dan solidaritas dari
seluruh prakstisi PBJ di negeri ini. Saya optimis, kekompakan kita dalam menyuarakan lahirnya undang-undang
pengadaan akan membuahkan hasil. Jumlah kita (praktisi PBJ) cukup banyak
tersebar dari Sabang
sampai Merauke.
Menurut saya tidaklah
berlebihan jika praktisi PBJ mau bergerak bersama, minimal dengan cara membuat
dan menandatangani petisi yang
hasilnya diserahkan ke presiden, LKPP, KPK, DPR-RI dan kementerian terkait. Hal semacam ini paling
tidak mampu memberi kekuatan bagi kita, praktisi PBJ, untuk terus memiliki
semangat dan gairah membangun bangsa.
Semoga bermanfaat
Salam Pengadaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar